Perlukah UU Pornografi dan Pornoaksi?

10:23 AM Posted In Edit This

Sulistyowati Irianto
Barangkali sebentar lagi perempuan tidak lagi leluasa bergaya dan berpakaian tanpa mengacu pada undang-undang. Namun, persoalan besarnya, benarkah berbagai ”kemaksiatan” bersumber pada bagaimana perempuan (dan laki-laki) bergaya dan berpakaian?
Kesalahan dan ketidakhati-hatian dalam perumusan dan berbagai ketidakjelasan dalam konsep dan cara berpikir dalam Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi dapat berakibat fatal dan menimbulkan ketidakadilan. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi juga dapat dibaca sebagai intervensi terlalu jauh negara ke dalam kehidupan privat warga negara, pemasungan terhadap hak sipil.
Isu pornografi merupakan masalah yang sangat berdimensi jender. Persoalan utama dalam pornografi adalah obyektifikasi dan eksploitasi seksualitas perempuan. Karena berbagai sebab, perempuan berada dalam situasi yang menyebabkan ketubuhannya terpapar, baik melalui media maupun yang tersembunyi, yang pada prinsipnya bertujuan komersial.
Perempuan yang terperangkap perdagangan manusia dan dijadikan pekerja dalam berbagai aktivitas hiburan yang menjual tubuh perempuan berada dalam situasi itu. Termasuk, perempuan yang ”dibeli” kekuatan modal dalam bisnis periklanan, film porno, dan audio visual lain. Bagaimana kedudukan perempuan dalam situasi tersebut: korban atau pelaku?
Dapat dipersoalkan apakah perempuan atas kesadaran sendiri berada dalam jaringan bisnis yang mengeksploitasi tubuhnya. Melihat berbagai penelitian mengenai bisnis pelacuran, terutama di Asia (Leslie Brown, 2005) dan berbagai diskusi serta aktivitas pencegahan perdagangan perempuan, ditunjukkan unsur persetujuan haruslah diabaikan.
Penegak hukum sering berdalih tidak dapat menangkap pelaku kejahatan karena perempuan sukarela (consent) menerima suatu pekerjaan. Padahal, banyak dibuktikan, rekrutmen perempuan dilakukan melalui tipu daya, ketiadaan pilihan, bahkan kekerasan.
RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi tidak secara jelas menentukan pelaku pornografi, malah akan memindahkan ancaman pemidanaan pelaku yang seharusnya dihukum kepada perempuan yang sebenarnya korban.
RUU ini salah sasaran karena tidak bertujuan melindungi perempuan dan anak-anak sebagai korban kekerasan seksual. RUU ini lebih mengutamakan ”moralitas” masyarakat yang sangat bersifat paradoksal. Leslie Brown (2005) mengutarakan keheranannya, bagaimanakah masyarakat Asia yang terkenal religius begitu permisif terhadap maraknya pelacuran yang mengorbankan berjuta-juta anak perempuan dari lapisan masyarakat paling miskin.
Berdasarkan berbagai pengalaman keseharian perempuan (termasuk berbagai hasil penelitian), pengertian pornografi seharusnya mengakomodasi aspek penyalahgunaan seksual (bentuk pemaksaan, pemanfaatan, dan penipuan terhadap perempuan, khususnya korban perdagangan manusia yang dijadikan obyek seks); eksploitasi dan obyektifikasi seksual perempuan dan anak untuk tujuan komersial. Oleh karenanya, merupakan bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak; pornografi merupakan isu hak sipil.
Pornoaksi
RUU ini juga mengatur masalah pornoaksi, penggunaan terminologi yang tidak lazim, karena belum pernah ada. Ada banyak hal yang tidak jelas mengenai definisi pornoaksi dalam RUU ini sehingga bisa menyesatkan dan bahkan memasung hak asasi mengekspresikan nilai kodrati kemanusiaan dalam rupa kasih sayang.
Kalaupun hendak dicari, pornoaksi sengat terkait dengan ”melanggar kesopanan di muka umum” yang diakomodasi Pasal 281 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Bukankah sebenarnya yang menjadi target sasaran adalah bisnis hiburan yang mempertontonkan tubuh perempuan di layar kaca yang membuat ”jengah” sebagian orang? Adilkah ”menembaknya” melalui UU yang akan mengikat segenap warga perempuan (dan laki-laki) yang sebenarnya juga merasa terganggu dengan pertunjukan tersebut? Mengapa tidak ”membidik” pelaku bisnis pertelevisian sebagai penyelenggara tontonan? Hal ini sebenarnya sudah diatur dalam UU tentang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Peraturan Komisi Penyiaran Nomor 009/sk/8/2004.
Problem yuridis
Sebenarnya sebagian besar substansi yang diatur dalam RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi sudah diatur setidaknya dalam KUHP, UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, UU tentang Pers Nomor 40 Tahun 1999, dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia. Dengan demikian, pemberantasan pornografi adalah tanggung jawab polisi, kejaksaan, dan hakim, sehingga tidak diperlukan lagi ”Badan Antipornografi dan Pornoaksi Nasional” (BAPPN) yang akan dibiayai APBN, sebagaimana diatur dalam RUU ini.
Karena pornografi menyangkut hak-hak privat warga negara dan khususnya persoalan kekerasan terhadap obyek pornografi, yaitu perempuan dan anak, maka acuan dasar hukum pembentukan RUU ini, yang mengacu pada UUD Pasal 20, 21, dan 29, tidaklah tepat.
Instrumen hukum yang sangat berkaitan dengan esensi pornografi dan implikasi pornografi bagi perempuan dan anak-anak adalah yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi setiap warga negara, yaitu (a) Pasal 27 (2) UUD 1945, (b) Pasal 28 I juntis Pasal 28 J, dan Pasal 28 G Ayat (2) UUD 1945, (c) Pasal 1 juntis Pasal 2, Pasal 5 huruf (a), dan Pasal 6 dari UU No 7/1984 (CEDAW), (d) KUHP, (e) UU No 40/1999 tentang Pers, (f) UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan (b) Landasan Aksi Konferensi Beijing Kapital D Angka 112-113.
Jika RUU ini hendak dipaksakan juga, maka akan ada beberapa kekhawatiran dalam implementasinya. Pertama, keberadaan RUU ini akan menghapus kemajemukan budaya bangsa sehingga yang tertuang dalam konsideransnya malah bertentangan dengan substansinya.
Berbagai hal tentang perkelaminan sangat terkait dengan masalah kebudayaan dan sejarah kesukubangsaan di Indonesia sehingga sukar menuding tradisi tertentu, bahkan ritual keagamaan dalam tradisi tersebut, sebagai tindakan pornografi, apalagi mengkriminalisasinya.
Kedua, ketidakjelasan dalam definisi dan prosedur akan menyulitkan penegak hukum dalam menangani kasus yang dipandang sebagai pornografi.
Ketiga, pengaturan terhadap ruang privat yang dipaksakan untuk diatur dikhawatirkan akan menimbulkan pengekangan, pemaksaan, bahkan kekerasan negara terhadap warga negara melalui otoritasasi terhadap sekelompok orang yang akan bertindak sebagai ”polisi moral” dalam BAPPN (merujuk pada pengalaman empiris yang terjadi dalam masyarakat akhir-akhir ini).
Keempat, intervensi negara terhadap ruang privat akan menyebabkan hilangnya hak-hak sipil warga negara.
Sulistyowati Irianto
Pengajar Pusat Kajian Wanita dan Jender, Universitas Indonesia

Komentar Kamu