UU Pornografi Positif

10:24 AM Posted In Edit This

Gerakan sekularisasi dan Islamophobia atau ketakutan terhadap Islam diduga ang melatarbelakangi aksi penolakan RUU Pornografi dan Pornoaksi yang akan disahkan DPR. Semua gerakan itu menghendaki agar Indonesia menjadi negara sekuler dan jauh dari norma agama, kata Direktur Pusat Kajian Konstitusi, Hukum dan HAM (Puskohham), Drs. Ansari Yamamah.
Penolakan terhadap RUU Pornografi lebih didominasi pengaruh kelompok yang mengalami Islamophobia atau ketakutan terhadap pemberlakuan ajaran Islam.Kelompok tersebut tidak ingin Indonesia yang menganut azas Ketuhanan Yang Maha Esa terus dikenal sebagai negara beragama.
Kelompok itu “mengkambinghitamkan” kebebasan berekspresi sebagai “alat” untuk menolak RUU yang membatasi praktik yang melanggar susila tersebut. Indonesia ingin dijadikan sebagai negara sekuler yang memisahkan norma agama dan ketentuan dalam berbangsa dan bermasyarakat. Padahal sebagai bangsa timur Indonesia dikenal dan dihormati dunia Internasional karena memiliki kriteria sebagai negara beragama, kata Dosen IAIN Sumut itu.
Apa yang dikatakan Ansari sangat tepat, sehingga munculnya penolakan RUU Pornografio harus dihadapi dengan memperkuat barisan agar pejuang RUU Pornografi berhasil mewujudkannya dalam waktu dekat ini.
Berbagai elemen masyarakat pecah, sebagian berupaya mengesahkan dan sebagian lagi menolak RUU Pornografi. Kontroversi seputar RUU tersebut pun semakin membingungkan masyarakat. Tak pelak lagi, pembuatan RUU ini tercatat paling ’’heboh’’.
Padahal, banyak produk RUU yang lebih kontroversial, bahkan yang represif pun bisa disahkan tanpa harus heboh, karena DPR dan pemerintah tidak menempuh prosedur seperti halnya RUU Pornografi.
Hemat kita, pornografi di Indonesia sudah demikian parah. Oleh karena itu, pembuatan UU Pornografi dinilai sudah sangat mendesak. Jika tidak, dampak negatifnya sangat membahayakan masa depan bangsa, khususnya generasi muda kita.
Memang batasan pornografi sedikit membingungkan, termasuk di kalangan penegak dan praktisi hukum. Tahun 1970-an misalnya, menampakkan paha dan belahan dada saja sudah dinilai porno.
Namun kini, kelihatan pusar bahkan berpose semitelanjang pun dianggap model, bahkan dikategorikan foto seni. Masalah definisi porno inilah yang acapkali menimbulkan debat di kalangan elemen masyarakat. Apalagi, budaya yang berkembang di satu daerah dengan daerah ,lainnya pun berbeda.
Di Irian Jaya (Papua) masih banyak saudara kita menggunakan koteka, di Bali dan Yogya seni tari dan busana tradisionalnya cenderung memperlihatkan bagian tubuh dan lekuk tubuh penari wanita. Wajar saja kalau masyarakat di sana menolak keras RUU Pornografi.
Sampai-sampai Komponen Rakyat Bali (KRB) meminta masyarakat daerah ini untuk semakin gencar menyatakan “perang” menolak diberlakukannya UU Pornografi. Alasannya, kalau UU itu diberlakukan masyarakat Bali yang hidup dari dunia pariwisata sangat dirugikan. Tegasnya, bila UU yang tidak berpihak pada dunia pelancongan itu diundangkan dunia pariwisata Bali akan mati kutu.
Tentunya siapa saja boleh mengeluarkan pendapat, walaupun pendapatnya terkadang tidak mendasar. Dunia pariwisata Bali diyakini tidak akan surut, berkurang jumlah wisatawannya, mengapa? Sebab, turis datang ke Bali ingin menikmati alam pantainya yang indah.
Kalaupun mereka (turis mancanegara) mandi dengan berpakaian bikini di pantai tentu saja tidak termasuk dalam pasal-pasal dalam RUU Pornografi. Mereka baru dikenakan sanksi bila berbelanja ke pasar atau melintas jalan di tengah kota dengan bikini.
Justru itu, RUU Pornografi dibuat fleksibel alias tidak kaku sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan, termasuk kaum wanitanya, non-Muslim dll. Sebab, RUU Pornografi itu positif buat kita semua yang ingin bangsa ini berkembang dan beradab.=

Komentar Kamu