Proses Pembodohan Bangsa Oleh Infrastruktur Telekomunikasi

11:57 AM Posted In Edit This 0 Comments »

Onno W. Purbo – Computer Network Research Group ITB
Saya berasumsi bahwa sebagian besar bangsa ini sepakat bahwa dimasa mendatang kita hidup bukan dari kemampuan otot melainkan dari isi otak / pengetahuan yang dimilik (istilahnya barangkali “knowledge based society”) sebagai sebuah Visi utamanya. Tulisan ini akan mencoba memfokuskan pada strategi pengambilan kebijakan teknologi khususnya pada infrastruktur telekomunikasi, informasi & pengetahuan untuk mendukung terbentuknya sebuah knowledge based society di Indonesia. Kecuali jika pola represif & pembodohan masyarakat tetap ingin dipertahankan, maka kita tidak perlu membangun & mengembangkan infrastruktur telekomunikasi, informasi & pengertahuan di Indonesia. Tentunya seluruh pendapat saya masih terbuka untuk di diskusikan dan di debat  …


Jika pembaca tertarik untuk melihat referensi lebih lanjut, sangat saya sarankan melihat review next generation telco di http://www.pulver.com/nextgen/. Saya akan yakin sekali bahwa sebagian besar dari anda akan surprise bahwa transparansi teknologi dari perusahaan telkom masa mendatang yang sudah beroperasi cukup banyak saat ini di dunia dapat menekan biaya yang demikian besar hingga 1/8 s/d 1/10 biaya telepon yang kita gunakan melalui infrastruktur Telkom & Indosat yang sifatnya masih monopoly pada pada saat ini. Bayangkan saja dengan teknologi internet telepon yang sudah cukup establish sekarang ini dengan keluarga standar protokol H.323 dapat menekan pembicaraan SLI ke US menjadi hanya sekitar Rp. 1200 / menit dibandingkan di SLI 001 yang harganya Rp. 8300 / menit (dalam keadaan normal). Untuk jelasnya detail cara mem-bypass SLI 001 / 008 menggunakan teknologi internet telepon dengan kualitas yang cukup baik sangat saya sarankan membaca artikel saya di majalah Infokomputer. Banyaknya operator-operator telkom menyebabkan menit pembicaraan menjadi komoditi yang dapat diperdagangkan seperti hal-nya bursa saham, sehingga terbentuk jaringan-jaringan pertukaran menit pembicaraan maupun bandwidth pembicaraan telpon (istilahnya minute exchange & bandwidth exchange) – mungkin sulit untuk membayangkan menit pembicaraan menjadi komoditi diantara para operator jaringan telekomunikasi karena di Indonesia hal-hal ini sama sekali tidak terjadi. Dengan kata yang agak kasar dapat disimpulkan bahwa – saat ini bangsa Indonesia setiap detiknya di bodohi dan dibuat miskin oleh kebijakan monopoly telekomunikasi yang di anutnya sendiri, sementara negara tetangga kita di untungkan dengan adanya kompetisi yang bebas.

Dari sisi kebijakan umumnya kompetisi merupakan salah satu kunci utama keberhasilan. Pertanyaan-nya, visi teknologi seperti apa yang di anut para operator telekomnukasi tersebut sehingga memungkinkan konvergensi teknologi telekomunikasi, informasi & pengetahuan terjadi dengan baik? Saya coba bahas dari beberapa sisi praktis kebijakan teknologi telekomunikasi. Secara umum sebagian besar dari kebijakan teknologi yang diusulkan untuk membangun telkom generasi mendatang akan berbasis pada teknologi internet (istilahnya IP-centric network) yang saat ini menjadi alternatif utama bagi pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang murah dan reliable.

Kenyataan yang ada sekarang, AT&T Network Services telah menghentikan pembelian semua peralatan switch telepon tradisional mereka hanya akan melakukan investasi menggunakan peralatan IP-centric network. Jadi sebuah kebijakan yang sangat salah jika Telkom / Indosat / operator telkom di Indonesia jika mereka masih berkutat dengan teknologi telepon tradisional – jelas harga jual ke pasar akan tinggi & menjadi beban konsumen. Belum lagi jika IP-centric network ini digabungkan dengan jaringan dengan bandwidth lebar yang memungkinkan konvergensi multimedia dengan infrastruktur telekomunikasi, sehingga membuka peluang yang besar bagi usaha telekomunikasi mulai dari conference calling, integrasi internet kecepatan tinggi ke telepon, entertainment dll.

Mengapa IP-centric network? Internet saat ini menjadi sebuah unifying dan enabling protokol bagi semua jenis / bentuk komunikasi. Karena infrastruktur internet sangat ekonomis dibandingkan jaringan tradisional. Pengembangkan infrasruktur internet membutuhkan waktu beberapa minggu dibandingkan infrastruktur telepon tradisional yang membutuhkan waktu beberapa bulan bahkan tahun. Internet memungkinkan pemaksimuman penggunaan jaringan telekomunikasi tradisional yang membutuhkan sambungan khusus setiap pelanggan menjadi bit informasi dengan banyak sumber pada Internet. Oleh karena rendahnya kebutuhan teknis maupun biaya infrastruktur ditambah dengan fleksibilitas yang sangat tinggi dari Internet akan menjadi penyebab utama penggunaan Internet sebagai infrastruktur utama telkom generasi mendatang.

Internet telepon barangkali akan menjadi aplikasi awal yang memperlihatkan potensi infrastruktur internet dalam menggantikan infrastruktur telekomunikasi tradisional. Sebagai contoh sejak pasar SLI di Jepang di deregulasi bulan Juli 1997, saat ini 10% dari trafik SLI Jepang dilalukan melalui Internet. Estimasi global di tahun 2003, telepon Internet akan menguasai pangsa pasar Internasional sebesar US$ 14.7 milyar – masyarakat Indonesia hanya akan dapat menikmati kemudahan ini jika monopoly sesegera mungkin di cabut dengan dijalankannya UU Telekomunikasi yang baru – sehingga terbentuk banyak operator telekomunikasi baru dengan berbasis teknologi internet yang jauh lebih effisien dibandingkan teknologi Telkom / Indosat yang sekarang.

Tentunya masih banyak kebijakan teknologi lain yang dapat berkembang setelah internet telepon, seperti mobile Internet bagi pekerja yang sangat mobile seperti hal-nya di Hong Kong yang mempunyai penetrasi telepon selular 34% menjadikan aplikasi mobile menjadi sangat menarik. Bagi banyak usaha kecil & menengah (UKM) pengembangkan interrnet / intranet yang menggabungkan trafik suara, e-mail dan FAX menjadi sangat menarik untuk aplikasi-aplikasi seperti e-commerce, e-dagang, e-market dan e-bisnis. Industri rumahan (atau istilahnya SOHO) menjadi berkembang dibantu oleh infrastruktur telekomunikasi – tentunya diikuti dengan perubaan budaya yang mendasar pada aktornya.

Kalaupun sulit dari sisi investasi bagi setiap UKM maka konsep Warung Internet / WARNET (atau bahasa keren-nya community telecenter) dapat dikembangkan secara self-financing untuk memberikan konvergensi akses telekomunikasi bagi masyarakat, baik telepon, internet dan FAX. Dalam buku saya Teknologi Warung Internet yang diterbitkan oleh PT. Elexmedia Komputindo bulan November 1999 yang dapat diperoleh di Toko Buku Gramedia dengan harga yang relatif murah - saya coba jelaskan secara detail dari sisi teknologi maupun dari sisi bisnis-nya sehingga sebuah usaha warung yang investasinya hanya sekitar Rp. 25-50 juta rupiah dapat kembali dalam waktu 1-2 tahun, walaupun dalam kondisi krisis moneter seperti saat ini. Pada tanggal 30 Oktober 1999 yang lalu saya berkesempatan berdiskusi & berjumpa dengan para adjengan dari pesantren-pesantren di sekitar Tasikmalaya, salah satu diskusi yang mencuat ternyata total biaya SLJJ yang dikeluarkan oleh sebuah pesantren di sana oleh para santri-nya minimal Rp. 2 juta / bulan umumnya sekitar Rp. 3-4 juta / bulan – jelas dari penjelasan sederhana ini maka usaha warung internet menjadi sangat feasible untuk menekan biaya telekomunikasi dan investasi dapat kembali dapat waktu yang kurang dari 2 tahun. Hal ini jelas menjadi menarik bagi para adjengan pesantren di Tasikmalaya pada waktu itu. Kami merencanakan juga road show bekerjasama dengan MASTEL, KADIN, APWI dll untuk menjelaskan secara detail tentang teknologi warung internet ini dimulai di ITB pada Insya Allah tanggal 29 Januari 2000. Bagi pembaca yang berminat untuk berinteraksi dapat melakukannya melalui mailing list e-commerce@itb.ac.id.

Artinya apa? Infrastruktur akses ke dunia informasi dan pengetahhuan sebetulnya dapat dibangun secara mandiri (self-finance) oleh masyarakat itu sendiri jika kita meng-empower masyarakat dengan pengetahuan teknologi yang dibutuhkan. Arus bawah infrastruktur telekomunikasi yang sifatnya self-finance dapat terbentuk dengan strategi & kebijakan yang kondusif. Besar harapan bahwa proses pembodohan & represif dapat dihambat dengan keberadaan infrastruktur telekomunikasi rakyat ini. Tampaknya tidak perlu kita berhutang pada IMF maupun Bank Dunia sehingga menjadikan negara ini semakin terpuruk. Asalkan kompetisi yang cukup bebas diberlakukan di dunia infrastruktur telekomunikasi, tampaknya dapat menjanjikan bangsa ini hidup lebih ceria.




0 your comment:

Komentar Kamu